SAYA terharu dengan jiwa besar Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P. Kini terbukti sudah bahwa Megawati memang anak biologis dan ideologis Bung Karno. Bukan kekuasaan untuk diri sendiri yang direngkuh, melainkan nasib bangsa Indonesia.
Sebagai ibu, demi harapan terwujudnya Indonesia Raya, Megawati selama
ini bekerja dalam diam. Ia membesut para kader muda PDI-P,
mengonsolidasi partai, serta menerima kritikan dan ejekan lawan politik
tanpa berkata-kata. Hingga Jumat 14 Maret 2014, ia akhirnya mengeluarkan
perintah harian yang berwibawa dan terasa sakral karena ditulis dengan
tangan.
”Saya Ketua Umum Partai Demokrat Indonesia Perjuangan. Kepada seluruh
rakyat Indonesia yang mempunyai mata hati keadilan dan kejujuran di
mana pun kalian berada! Dukung Bapak Joko Widodo sebagai capres dari
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jaga dan amankan jalannya pemilu
legislatif–terutama di TPS-TPS dan proses penghitungan yang berjalan
dari segala bentuk kecurangan dan intimidasi, teguh dan tegarkan hati
dalam mengawal demokrasi di Republik Indonesia tercinta.”
Makna kultural
Perintah harian itu segera disambut oleh rakyat dengan kegembiraan
dan rasa syukur. Keikhlasan Megawati menggendong dan menuntun Joko
Widodo alias Jokowi untuk menyeberang jalan dengan selamat membuktikan
bahwa sebagai pribadi Megawati memang sudah ”duduk” (resolved).
Ia ibarat bunga bakung dan matahari, selalu meneduhi dan memberi energi bagi terwujudnya Indonesia Raya yang ditegakkan dengan ketiga pilar Trisakti Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan).
Dengan konstruksi seperti itu, ambisi politik Megawati sejatinya
bukan lagi sekadar urusan kontestasi kekuasaan dan hak-hak istimewa
politik dan ekonomi, melainkan menyaksikan rakyat Indonesia bisa mesem
(tersenyum). Cukup pangan, sandang, papan, serta biaya pendidikan dan
kesehatan yang terjangkau. Apalagi jika rakyat bisa gemuyu (tertawa).
Maknanya, selain kebutuhan dasar tersebut, mereka juga mempunyai
tabungan dan bisa piknik. Pendeknya, dalam batas-batas tertentu, secara
teoretis Megawati boleh disebut sudah post-materialist.
Sementara itu, di rumah panggung yang dulunya milik si Pitung di
Marunda, Jakarta Utara, Jokowi, yang mendapat mandat dari Megawati
Soekarnoputri, dengan santun mendeklarasikan diri sebagai calon presiden
dari PDI-P.
Secara kultural, Deklarasi Marunda tersebut penuh makna. Salah
satunya adalah kuatnya narasi perjuangan untuk menegakkan keadilan,
membebaskan diri dari kemiskinan dan ketakutan, serta menggalang
keberanian dan optimisme bersama.
Ini berkaitan dengan kondisi Marunda yang selama ini terbelit
kekumuhan dan suara-suara kemiskinan. Jokowi berkehendak bukan saja
membebaskan beban berat mereka, melainkan juga seluruh bangsa Indonesia.
Komunikasi politik kultural
Merenungkan hal tersebut, saya teringat kata-kata Emak, 18 Agustus
2013. Katanya, pada saat yang tepat, Megawati pasti akan mengumumkan
Jokowi sebagai calon presiden. Sejatinya, Megawati perasaannya halus dan
bisa membaca ”tanah punya mau” (gerak sejarah).
Lebih dari itu, Emak juga mengatakan, menurut gugon tuhon
(kepercayaan) orang-orang tua dulu, Raja Jayabaya dari Kerajaan Kadiri
pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Musasar.
Salah satu isinya: ”Pada suatu masa nanti bekas kerajaan Majapahit
akan lebih adil dan makmur apabila dipimpin oleh anak yang lahir di
dekat Gunung Lawu, rumahnya pinggir sungai, masa kecilnya susah tukang
cari kayu, badannya kurus seperti Kresna, wataknya keras kepala seperti
Baladewa, kalau memakai baju tidak pantas, ada tahi lalat di pipi
kanannya, dan mempunyai pasukan yang tidak kelihatan”.
Mendengar cerita itu, saya langsung tertawa. Tanpa berpikir pun, mudah ditebak, ilustrasi tersebut mirip dengan Jokowi. Agar Emak tidak tersinggung, penulis menahan tawa dan pura-pura batuk.
Meski penulis menekuni pendekatan budaya politik, sejauh ini bangunan
teoretisnya berpijak pada sejarah kampung dan bukan gugon tuhon.
Preferensi politik masyarakat ditentukan oleh lingkungan tempat dia
dibesarkan. Mereka yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya,
mempunyai preferensi politik berbeda dengan mereka yang tumbuh di
perkebunan tebu.
Alam bawah sadar masyarakat yang tumbuh di lingkungan pertanian padi
secara umum lebih percaya pada klenik. Mungkin karena terlalu banyak
upacara tradisional di sini.
Sebaliknya, mereka yang tumbuh di perkebunan tebu lebih terikat pada
ideologi. Ini bisa dilihat dari sejarah republik di mana pemberontakan
komunis umumnya terjadi di daerah perkebunan, terutama perkebunan tebu.
Konflik kelas antara petani dan pihak pabrik (tebu) menjadi medan
sosialisasi ideologi kritis bagi mereka yang tumbuh di lingkungan
tersebut.
Akan tetapi, setelah Deklarasi Marunda ini saya berpikir dari
kacamata komunikasi politik kultural. Jika ibu saya saja meyakini gugon
tuhon itu, berapa banyak orang Jawa yang juga mempercayainya?
Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul, apabila hal itu
dikapitalisasi secara tepat, ia bisa menjadi mesin optimisme. Orang akan
bersedia bekerja keras, prihatin, hidup sederhana, membangun, dan
bergotong-royong mengikuti panduan Jokowi.
Hormat saya kepada Megawati Soekarnoputri!
SUKARDI RINAKIT, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate